Semakin banyaknya lulusan sarjana yang belum mendapat pekerjaan seharusnya membuat mereka merenung dan berpikir, apa yang seharusnya dimiliki oleh seorang lulusan sarjana. Biar ndak ada cap sarjana kertas, yang hanya mengandalkan ijazahnya saja. Nah, ulasan buku kali ini bercerita tentang sebuah lika-liku kehidupan mahasiswa di sebuah kampus swasta tak terkenal.
Betapa banyak pesan dan kritik yang ada di dalam buku ini terkait pendidikan dalam negeri ini. Simak terus ya.
Ulasan Buku Kami Bukan Sarjana Kertas
Blurb
Di Kampus UDEL, terjebaklah tujuh mahasiswa yang hidup segan kuliah tak mau. Mereka terpaksa kuliah di kampus yang Google saja tak dapat mendeteksi. Cobalah sekarang Anda googling "Kampus UDEL," takkan bertemu!
Alasan mereka masuk UDEL macam-macam. Ada yang otaknya tak mampu masuk negeri, ada yang uang orangtuanya tak cukup masuk swasta unggul, ada pula yang karena... biar kuliah aja.
Hari pertama kuliah, Ibu Lira Estrini - dosen konseling yang masih muda - menggemparkan kelas dengan sebuah kejadian gila, lucu dan tak masuk akal. Ia membawa sekotak piza dan koper berisi tikus. Seisi kelas panik, tapi anehnya, semangat para mahasiswa buangan ini justru terbakar untuk berani bermimpi!
Akankah mereka bertahan di kampus yang amburadul ini? Sekalipun iya, bisakah mereka jadi sarjana yang tidak sekadar di atas kertas?
Buku ini wajib dibaca pelajar SMA, mahasiswa, para orangtua, karyawan, petinggi perusahaan, para pengambil kebijakan di institusi pendidikan, anak start-up, anak muda berkarya, pengemudi ojek online, abang ondel-ondel, hingga Presiden Korea Utara agar kita dapat memutuskan seberapa penting sebenarnya nilai sebuah ijazah.
Identitas Buku
Ulasan
Buku ini menceritakan tujuh mahasiswa baru yang bertemu di kelas konseling kampus UDEL dan akhirnya menjadi sahabat yang saling menjadi anjing untuk impian masing-masing selama menuntut ilmu di bangku perkuliahan.
Ke tujuh mahasiswa tersebut adalah Ogi, Randi, Sania, Juwisa, Arko, Gala, dan Catherine. Mereka semua memiliki latar belakang masing-masing yang berbeda. Sehingga alasan memutuskan untuk kuliah di kampus swasta yang google saja tidak mampu mendeteksi kampus ini juga berbeda. Ada yang karena terbatas ekonomi, ada yang karena tidak diterima di perguruan tinggi negeri favorit, dan alasan lainnya. Terdengar tak asing ya alasan untuk melanjutkan kuliah.
"Jika menjadi pendidik membuatmu tak mau mempelajari cara-cara baru, maka percuma statusmu sebagai dosen dan guru. Buatlah kelasmu asyik, gunakan cara menarik, itulah saran Mario Wikwik.". (hlm. 41)
Pertemuan pertama mereka sangat membekas hanya karena Bu Lira, dosen konseling mereka memberikan kuliah pertama dengan cara yang tidak biasa. Mereka bertujuh sepakat bahwa bu Lira adalah dosen sekaligus tempat curhat terbaik saat berjuang di kampus UDEL.
Dalam perjalanan mereka untuk lulus dari kampus ini sangat beragam. Ada yang harus keluar sebelum waktunya. Ada yang harus bertahan dari kondisi perekonomian keluarga. Ada pula yang merasa mendapat tekanan dari keluarga.
Penulis membuat novel ini sangat dekat dengan kita, para pelaku pendidikan, utamnya kehidupan mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. Mulai dari kampus yang memberikan ijazah palsu dengan rektor sebelumnya, para dosen yang kolot, dosen yang ingin membawa perubahan baik, KKN Mahasiswa.
Bayangkan saja, sebelum rektornya diganti, Bapak H. Prof. Dr. der Soz. Areng Sukoco Ph.D., M.Pd, M.Ag. M.Sc, terdapat 900 oknum mahasiswa yang telah menerima ijazah palsu. Sistem pengajarannya juga kolot dan membosankan. Sebuah kritik untuk institusi pendidikan.
Bahasa yang dituturkan di buku ini ringan, sangat santai dan menarik untuk dibaca buat kalian yang masih menjadi mahasiswa atau hendak menjatuhkan pilihan lanjut kuliah. Selain itu cocok pula dibaca para pendidik. Karena memang terselip kritikan untuk pendidikan di negeri kita.
Dari buku ini pula lah, kita bisa belajar dari anjing dan kecoak😂. Terima kasih atas karyanya, Bang!
Penutup
"Perjuangan sesungguhnya dimulai ketika toga sarjana dipasang". (hlm. 320)
Wah, aku suka nih model novel tentang persahabatan kayak gini..
ReplyDeleteBtw, quote terakhirnya dalem banget tuh.. Hehee,,