Saat aku membuka pintu rumah, aku baru sadar bahwa pintu rumah ternyata masih belum terkunci. Selanjutnya, aku mengecek si burung trucukan, dia langsung diam. Kondisinya aman, kandangnya sudah terselimuti sempurna.
Mungkin saja, dia memang hanya ingin memberitahukan bahwa pintu rumah ada yang lupa belum dikunci. Aku tak ingin berpikir lebih jauh lagi karena sudah malam dan merasa capek setelah mencuci baju tadi. Besok sore aku harus balik ke perantauan, jadi aku harus tidur malam ini.
"Terima kasih sudah memperingatkan pintu rumah belum dikunci. Dah malam, aku tidur dulu ya." ucapku pada burung trucukan sambil ku gantung kembali di atas.
Keesokan paginya, sebelum seluruh penghuni rumah pergi ke sekolah untuk mengajar, aku menceritakan kejadian aneh tadi malam kepada mereka. Kakak pertama yang ikut dengerin akhirnya ikutan bersuara,
"Ya mungkin tadi malam pintu rumah memang lupa belum dikunci." timpal kakak pertama.
"Tapi, Nak. Tadi malam bapak yang masuk rumah terakhir dari tahlilan yakin banget sudah bapak kunci pintunya, loh." kata bapak masih meyakinkan kami.
"Ya sudah, yang penting semua aman kan? Kamu juga tidak apa-apa kan, Nak. Ibu berangkat ke sekolah dulu." Ibu menengahi sambil membubarkan obrolan pagi hari itu.
Aku pun melanjutkan menjemur baju yang sudah kucuci tadi malam. Karena posisi rumah yang dikelilingi pohon jati, maka jemuran pakaian di rumah kami ada di atas dan agak ke belakang, dak cor yang memang digunakan khusus untuk menjemur.
Sebelum aku naik ke atas, aku mengunci semua pintu rumah takutnya ada orang yang masuk tak diundang. Setelah itu, kuncinya aku cabut dan kuletakkan di tempat gantungan kunci. Lalu aku segera menjemur dengan santai. Diiringi musik instrumental yang kusukai dari Omar Faruk Tekbilek, sayup-sayup aku mendengar namaku dipanggil kakak pertama. Saat kumatikan musiknya, panggilan itu semakin jelas.
"Cung, Kacuuung. Di mana kamu?" dengan nada mencari.
"Apa, Cak? Aku sedang di atas. Sedang jemur baju." jeritku.
Sejurus kemudian aku baru sadar, kan rumah sedang kukunci. Mungkin masku itu mau masuk rumah tapi lupa bawa kunci. Kujemur segera pakaian terakhir dan langsung turun. Tiba di bawah, aku terperanjat pintu rumah terbuka sedikit dan tak kutemukan sosok kakak pertamaku itu ataupun sepeda motornya.
Segera kukirim pesan kepadanya menanyakan ada apa pulang sebentar dan kembali tapi tidak mengunci rumah. Jawaban masku singkat dan membuatku cukup merinding.
Siapa yang pulang? Ini aku sedang ada jam mengajar, Cung!
Tak lama dia mengirim foto sedang di kelas.
Loh, tadi aku sedang jemur di atas tapi ada suaramu manggil diriku, Mas. Kukira kamu sedang memanggil buat minta dibukakan pintu, soalnya kukunci pintunya. Lha kok pas aku turun, pintu kebuka sedikit dan kuncinya nancap di pintu dan nggak ada siapa pun. Serius kamu ndak pulang, Mas?
Ndak, ini aku masih di kelas loh. Mungkin kamu lupa belum ngunci tadi, Dek. Sudahlah, sarapan dulu sana. Aku lanjut ngajar dulu ya.
Aku terhenyak. Dan terjadi lagi dalam semalam sehari ini dua kali kejadian pintu belum terkunci. Mungkin memang benar aku sedang kurang fokus karena belum sarapan. Akhirnya aku pun sarapan dan melanjutkan memberi makan para peliharaan, mulai dari ayam, kambing dan terakhir si burung trucukan.
Sorenya, aku berpamitan kepada bapak ibuk dan kakakku untuk balik ke rantau karena besok pagi ada jam kuliah. Sebelum pergi, kakak pertamaku tiba-tiba berkata,
"Hati-hati di jalan ya, Dik. Mungkin penghuni rumah lainnya kemarin dan tadi ada yang sedang menyambutmu karena jarang kelihatan di rumah. Huahahaa"
"Heh!" jeritku sambil memukulnya. (bersambung)
*Cung, Kacung: panggilan untuk anak laki-laki
Episode 1: Rumah di Tengah Hutan (1)
Episode 2: Rumah di Tengah Hutan (2)
Episode 3: Rumah di Tengah Hutan (3)
Episode 4: Rumah di Tengah Hutan (4)
Episode 5: Rumah di Tengah Hutan (5)
Episode 6: Rumah di Tengah Hutan (6)
Episode 7: Rumah di Tengah Hutan (7)
Iseng amat abangnya..
ReplyDeleteTerus kenapa si adek dipanggil kacung??