Salah satu bukti kita hidup adalah bernapas. Bernapas adalah aktivitas yang kita lakukan secara otomatis sehingga kita sering tidak menyadarinya. Namun, pernahkah kita bertanya, cara bernapas kita ini sudah benar atau belum, ya?
Bukankah sejak lahir kita sudah bisa bernapas? Jadi, buat apa belajar bernapas dengan benar? Eits, ternyata tak sesederhana itu. Tak peduli kamu selalu mengonsumsi makanan sehat, sering berolahraga, dan masih berusia muda, semua itu bisa menjadi sia-sia kalau kamu mengabaikan cara bernapas yang benar. Tidak ada yang lebih penting bagi kesehatan kita daripada bernapas.
Nah, buku Breath: Cara Bernapas dengan Benar menjelaskan pentingnya cara bernapas yang benar dan perannya dalam kesehatan kita. Memangnya seperti apa dan bagaimana sih cara bernapas yang benar itu? Simak ulasan buku kali ini.
Buku Breath: Cara Bernapas dengan Benar
Identitas Buku
Penulis: James Nestor
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 332 halaman
Alih bahasa:
Genre: Humaniora/Health
Blurb
Tak ada yang lebih penting bagi kesehatan dan kesejahteraan kita selain bernapas: hirup udara, keluarkan, ulangi 25.000 kali sehari. Namun, sebagai suatu spesies, manusia telah kehilangan kemampuan untuk bernapas dengan benar, dengan konsekuensi yang serius.
Dalam Breath, James Nestor berkeliling dunia untuk menemukan ilmu pengetahuan yang tersembunyi di balik praktik pernapasan kuno untuk mencari tahu apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya.
Penelitian modern menunjukkan bahwa membuat sedikit perubahan pada cara kita bernapas dapat: meningkatkan kinerja dalam berolahraga; meremajakan organ dalam; menghentikan dengkuran, alergi, asma, dan penyakit autoimun; bahkan bisa meluruskan tulang belakang yang mengalami skoliosis.
Kelihatannya tak mungkin, tapi ternyata mungkin. Menggali ribuan tahun kebijaksanaan kuno dan studi mutakhir dalam pulmonologi, psikologi, biokimia, dan fisiologi manusia, Breath mengubah kebijaksanaan konvensional dari apa yang kita pikir kita ketahui tentang fungsi biologis paling dasar ini.
Setelah membaca buku ini, kita tak akan bernapas dengan cara yang sama lagi.
Review Buku Breath: Cara Bernapas dengan Benar
Tahukah kamu? Empat puluh persen penduduk bumi saat ini menderita kondisi sumbatan hidung kronis, dan sekitar separuh dari kita memiliki kebiasaan bernapas dari mulut, terutama perempuan dan anak-anak. Ada banyak alasannya, mulai dari udara kering sampai stres, peradangan sampai alergi, pencemaran sampai obat.
Padahal, indikator terbesar dari panjangnya usia bukanlah genetik, pola makan, atau jumlah olahraga harian, seperti yang diduga oleh banyak orang, tapi kapasitas paru-paru. Hal itu dibuktikan oleh para periset di Kajian Framingham berdasarkan data dari 5.200 subjek kajian yang dikumpulkan selama dua dekade.⠀
Semakin kecil dan kurang efisiennya paru-paru, semakin cepat subjek kajian menjadi sakit dan meninggal. Rupanya, paru-paru yang lebih besar setara dengan hidup yang lebih panjang. Menurut para periset, kemampuan kita bernapas dengan penuh adalah “ukuran harfiah dari kapasitas hidup”. Lalu pertanyaannya, bagaimana kita bisa menguatkan paru-paru?
Orang Tibet sudah lama mengetahui bahwa organ internal seperti paru-paru memiliki sifat lentur, bisa dibentuk, dan bisa diubah nyaris kapan saja. Setiap latihan biasa untuk meregangkan paru-paru dan menjaganya tetap lentur akan meningkatkan kapasitas paru-paru.
Berjalan atau bersepeda dapat meningkatkan ukuran paru-paru sampai 15%. (hlm. 67)
Saya pun teringat teman saya, Dokter Anak yang selalu memberikan edukasi tentang dunia kesehatan, terutama tentang kesehatan anak. Yeah, kesehatan itu mahal harganya.
Eksperimen Bernapas dengan Mulut Selama 10 Hari
Penulis buku ini, James Nestor, dan seorang pasien, Olsson, menjadi sukarelawan dalam eksperimen Stanford, yaitu bernapas dengan mulut. Eksperimen itu dipantau oleh dr. Jayakar Nayak, seorang dokter bedah hidung dan sinus yang merupakan kepala laboratorium terkenal di dunia, yang hanya berfokus memahami daya tersembunyi dalam tubuh manusia.
Eksperimen ini disusun dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan dengan cara menyumbat hidung dan berusaha hidup seperti biasa. James dan Olsson tetap melakukan aktivitas seperti biasa, mulai dari makan, minum, berolahraga, sampai tidur. Mereka melakukan semua itu sambil bernapas dengan mulut. Pada tahap kedua, mereka melakukan aktivitas yang sama. Bedanya, mereka melakukannya dengan bernapas melalui hidung dan mempraktikkan beberapa teknik bernapas sepanjang hari.
Selama eksperimen, mereka melakukan pengukuran gas dalam darah, penanda peradangan, kadar hormon, penciuman, rhinometry, fungsi paru, dan banyak lagi. Nayak membantu membandingkan data sebelum dan selama eksperimen tersebut.
Efek Bernapas dengan Mulut
Selama percobaan bernapas dengan mulut, ada beberapa hal yang dirasakan oleh James dan Olsson. Tekanan darah James naik rata-rata tiga belas poin dari sebelum eksperimen, membuatnya berada dalam kategori hipertensi tingkat satu. Jika dibiarkan, kebiasaan bernapas lewat mulut ini akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan sederet masalah lainnya.
Setiap malam selama satu setengah minggu saat melakukan eksperimen tahap pertama, James merasa seperti akan mati tersedak saat tidur, dan tenggorokannya menutup dengan sendirinya. Kemungkinan besar, bernapas dengan mulut akan menutup jalan napas.
Selain itu, dengkurannya meningkat 4.820 persen dibanding sebelum ia melakukan eksperimen. Kondisi ini membuatnya sadar bahwa dia mengalami apnea tidur obstruktif (OSA/Obstructive Sleep Apnea). OSA adalah gangguan tidur yang terjadi ketika ada masalah pada sistem pernapasan. OSA menyebabkan pernapasan berhenti selama beberapa kali saat tidur.
Bernapas melalui mulut juga menyebabkan tubuh kehilangan 40% lebih banyak cairan. James merasakannya sepanjang malam. Setiap malam, dia selalu terbangun dalam keadaan haus dan kering. Yang lebih mengerikan, bernapas melalui mulut juga membuat James lebih dungu.
Setelah 240 jam bernapas melalui mulut, hormon-hormon yang terkait dengan stres memuncak. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh berada di bawah tekanan fisik dan mental. Bakteri difteri juga telah menghuni hidung. Jika bernapas dengan mulut tetap dilanjutkan, hal itu akan menimbulkan infeksi sinus besar-besaran.
Bernapas dengan Hidung
Bagi James sendiri, beberapa napas pertama melalui hidung setelah hidung disumbat selama sepuluh hari terasa menyegarkan. Jadi, hidung memang didesain untuk bernapas, karena di dalam hidung terdapat sejumlah jaringan yang berfungsi memfilter udara yang masuk ke tubuh. Udara disaring melalui hidung sehingga lebih sedikit bakteri yang masuk.
Bernapas dengan hidung juga mempunyai manfaat lain, yaitu memanaskan suhu udara lewat lubang hidung dan saluran napas yang panjang. Suhu napas melalui mulut akan berbeda dengan napas yang masuk melalui hidung. Seperti yang dikatakan Nayak, hidung adalah pejuang yang diam: penjaga gerbang tubuh, apotek bagi benak, dan pengatur cuaca bagi emosi.
Ternyata, ketika bernapas dengan kecepatan normal, paru-paru kita hanya menyerap sekitar seperempat oksigen yang tersedia di udara. Sebagian besar oksigen itu terembus keluar lagi. Menghirup napas lebih panjang memungkinkan paru-paru kita menyerap lebih banyak oksigen dengan frekuensi lebih sedikit.
Ketika bernapas terlalu cepat, kita mengeluarkan terlalu banyak karbon dioksida, dan tingkat keasaman darah meningkat menjadi lebih basa. Ketika kita bernapas lebih lambat dan menahan lebih banyak kabon dioksida di dalam tubuh, tingkat keasaman darah akan menurun, yang berarti menjadi lebih asam.
Semua orang memiliki masalah pernapasan. Ada yang mengalami stres, radang, jalan napas tersumbat, serta kesulitan saat memasukkan dan mengeluarkan udara dari paru-paru. Masalah pernapasan inilah yang efektif diperbaiki dengan teknik bernapas yang lambat dan teratur.
Simpulan
Cara kita bernapas mempunyai arti penting. Bernapas sebaiknya melalui hidung dan lebih lambat. Membuat sedikit penyesuaian dalam cara kita bernapas dapat meningkatkan performa olahraga, meremajakan organ dalam, serta menghentikan dengkuran, asma, dan gangguan pernapasan lainnya.
Ada beberapa teknik bernapas dalam buku ini. Salah satunya yang efektif dan bisa kita lakukan yakni pernapasan simetris. James merekomendasikan menarik napas selama 5,5 detik lalu mengembuskannya juga selama 5,5 detik melalui hidung. Dengan melakukannya, kita menghirup sekitar 5,5 liter udara per menit. Tujuan latihan pernapasan ini adalah agar detak jantung kita menjadi lebih konsisten.
Post a Comment
Post a Comment